Apa yang terjadi di Irak saat ini merupakan pesan tegas bagi Kelompok 5+1. Irak menegaskan bahwa penekanan Iran terhadap perundingan dalam penyelesaikan masalah global, bukan sekedar “basa-basi” politik melainkan mengisyaratkan pada kondisi yang tengah berlaku di negara-negara Barat dan masalah yang mereka hadapi di kawasan.
Selama bertahun-tahun Iran bertanya kapan pemerintahan diktator Saddam yang telah memaksakan perang kepada Iran selama delapan tahun dengan dukungan Amerika Serikat itu akan runtuh. Juga pertanyaan tentang bagaimana pemerintahan diktator yang pasca perang delapan tahun itu menumpas dan menindas kaum Syiah Irak itu akan runtuh.
Penantian lama Iran itu diakhiri tahun 2003 oleh Amerika Serikat dan berdasarkan laporan Wikileaks, Washington mengeluarkan 704 milyar dolar hasil pendapatan pajaknya untuk menjawab pertanyaan Iran tentang Irak.
Meski serangan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak sangat arogan, kasar, dan dengan tetap menjaga seluruh aspek propaganda, bahkan menurut menlu Inggris kala itu, Jack Straw, “Mereka datang untuk memetik buah dari serangan ke Irak pada perundingan nuklir Saad Abad, Tehran.” Namun kelihaian manajemen Iran dalam beberapa tahun terakhir yang juga didukung kerjasama pemerintah dan rakyat Irak, pada akhirnya mengubah Irak menjadi salah satu negara pendukung kuat Iran di kawasan. Tentu ini semua tidak akan terwujud tanpa bantuan ‘ketidakmatangan’ politik Amerika Serikat.
Rentetan kegagalan Amerika Serikat di Irak khususnya pada proses pemilu parlemen, menyimpan banyak pelajaran berhaga bagi para pemimpin Kelompok 5+1. Setelah tujuh bulan friksi dan tarik ulur antarfraksi politik Irak pasca pemilu parlemen, akhirnya jabatan perdana menteri mendatang negara ini akan dipegang oleh tokoh yang dalam masa tugasnya empat tahun lalu telah membuktikan solidaritas dan persatuannya dengan Iran.
Uang dan Senjata vs Manajemen Iran
Iyad Allawi, eks anggota partai Saddam, Baath dan pro Amerika Serikat, yang gagal merebut kursi perdana menteri, mengancam akan melancarkan gelombang instabilitas dahsyat di Irak jika partainya tidak menang dalam pemilu. Namun kini, Allawi tampak lebih “jinak” setelah menerima usulan bijak Iran. Bahkan ia kini menyatakan ikut bertanggung jawab atas kedaulatan negaranya.
Kenyataannya adalah bahwa aliansi dua partai Syiah Irak, Negara Hukum dan Aliansi Nasional, yang juga dibarengi oleh partai Kurdistan, dengan sendirinya mampu membentuk pemerintahan baru tanpa melibatkan List al-Iraqiya pimpinan Allawi. Akan tetapi terang kondisi seperti itu akan membuka lebar peluang munculnya fitnah dan campur tangan bengis Amerika Serikat dengan menunggangi situasi. Jika hal itu terjadi, maka untuk selamanya bangsa Irak akan merugi karena akan selalu menjadi mangsa penyalahgunaan Amerika Serikat dalam menebar instabilitas untuk mendukung kubu yang tersingkir di Irak.
Menghadapi kondisi tersebut, Republik Islam Iran mengusulkan bahwa pemerintahan mendatang Irak harus merefleksikan pemerintahan yang stabil dan mencakup seluruh kelompok politik negara ini dan List al-Iraqiya diberi wewenang untuk memilih sejumlah menteri di kabinet. Usulan Iran itu pada saat yang sama menobatkan Amerika Serikat sebagai pihak yang kalah dalam pemilu Irak.
Meski telah mengeluarkan dana besar dan menggunakan berbagai macam senjata dalam perang Irak, Amerika Serikat kalah di hadapan manajemen Iran, dan akhirnya terpaksa menyerahkan kancah politik Irak kepada Iran. Dalam hal ini, ada beberapa poin yang masih sulit dicerna oleh para pejabat Gedung Putih. Selain dimensi budaya, fakta bahwa hanya politik persatuan yang dapat direalisasikan di Irak. Atas dasar itu, Republik Islam Iran mengusulkan bergabungnya List al-Iraqiya ke dalam kabinet Irak dan memisahkan kelompok tersebut dari Amerika Serikat.
Pengakuan Media Massa Atas Kemenangan Iran di Irak
Tak ayal kemenangan manajemen Iran atas senjata dan uang Amerika Serikat sontak menjadi ‘buah bibir’ di media massa internasional. Politics Daily dalam laporannya menyatakan, “Banyak pengamat yang berpendapat bahwa pemenang senjata di kancah politik Irak bukan Amerika Serikat melainkan Republik Islam Iran.”
Adapun Progresive Involvement menyinggung masuknya kubu Allawi dalam kabinet mendatang Irak menulis, “Kini Baghdad berada di bawah pengaruh penuh Syiah yang bersekutu dengan Iran.”
Pengakuan yang sama juga dilontarkan oleh Long Report. Di lain pihak, Gulf Today menulis, “Setelah tujuh bulan tarik ulur, Iran berhasil tampil sebagai pemenang di kancah politik Irak.”
Namun faktor yang perlu dicermati adalah bahwa keberhasilan Iran tersebut tidak terbatas pada pemilu parlemen Irak saja, melainkan jauh sebelum pemilu. 23 September 2005 misalnya, Times Online menyebut Iran sebagai pemenang tanpa tanding dalam proses penyingkiran Saddam dari arena kekuasaan di Irak.
Indie Media bahkan menilai Amerika Serikat dan Inggris sebagai pihak yang kalah dalam perang Irak. Kandungan serupa juga secara implisit diakui oleh The Guardian dalam laporannya 16 Maret 2008.
Pelajaran Bagi Kelompok 5+1
Rangkaian koleksi kegagalan Amerika Serikat di Irak dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa para pejabat Gedung Putih benar-benar membutuhkan peran urgen Iran di kawasan. Mereka juga tidak memiliki pilihan lain kecuali mengakui fakta tersebut.
Para penguasa Negeri Paman Sam itu mungkin saja menepis peran Iran di kawasan dengan kembali menghamburkan 700 milyar dolar tambahan di Irak. Namun apakah ada jaminan bahwa hasilnya tidak seperti pasca pemilu Irak?
Dengan demikian, tawaran Iran kepada Kelompok 5+1 agar mempertimbangkan peran dan partisipasi Tehran dalam upaya menyelesaikan krisis global, sebelum kedua pihak berunding, bukan sekedar “basa-basi” politik belaka.
Namun apakah para penguasa Gedung Putih yang cenderung menyelesaikan segala masalah dengan cara-cara ala ‘koboi’ itu dapat menerima kenyataan tersebut dengan lapang dada?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar